“KINI akhir itu telah datang, usai sudah.” Dari bibir Tolstoy yang bergetar memucat, kata-kata itu lirih terucap. Di sampingnya, Tatyana, anak sulung Tolstoy, pias. Ia coba lepaskan genggaman tangan ayahnya, untuk mencari dokter di ruang lain, tapi Tolstoy merapatkan genggamannya.
Jerit Tatyanalah yang memanggil dokter, menyuntik, dan sesaat kemudian, seperti mendapat darah baru, Tolstoy seperti bugar, mengangkat kepala, dan mencoba duduk.
“Ada jutaan orang dan banyak penderitaan di muka bumi, mengapa engkau begitu mencemaskanku?” gugatnya, di sesela sengal.
Kematian bagi Tolstoy bukanlah hantu. Telah lama ia mempersiapkan “kekalahan yang tertunda” itu. Dua setengah tahun sebelumnya, ketika para pengikutnya di St. Petersbuburg membentuk panitia untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-80, ia melarang, dan meminta persiapan itu dihentikan. Ia, saat itu, mengucapkan tentang kematiannya yang sudah kian rapat, dan menerakan aroma kebencian di Rusia berkaitan dengan rencana perayaan itu. “Aku tak ingin menambah kebencian dan dendam di dunia ini,” ucapnya. Dan panitia ultah itu pun patuh.
Bagi pengarang buku ini, yang menakutkan dari kematian bukanlah kesakitan dan penderitaan, keduanya bisa absen dari kematian. Ketakutan dari kematian lebih karena pupusnya eksistensi seseorang, berakhirnya seluruh pikiran, perasaan, imajinasi dan hasrat, sementara dunia tetap berputar. Bagi dia, “kematian adalah momen terpenting kehidupan, titik berhenti dan kembalinya diri kepada sumber”.
Tapi, bagi orang lain, kematian Tolstoy justru menjadi tema penting. Anak-anaknya sangat ingin ia sembuh, tak berani menunjukkan beberapa surat penting, yang kebanyakan berisi bujukan, agar ia mau berdamai dengan gereja. Malam-malam dekat dengan kematiannya, kabinet Rusia dan petinggi gereja bahkan mendiskusikan dirinya dan hubungannya dengan Gereja Katolik Ortodoks.
Beberapa media mengatakan mereka yang ikut pertemuan itu meminta gereja menghapus pengucilan Tolstoy. Namun, pihak gereja, kecuali dua pendeta, menampik. Argumentasi mereka, tak ada kehendak Tolstoy untuk “bertobat”.
Semua agama setara
Leo Nikolavitch Tolstoy lahir di Yasnaya Polyana, di distrik Tula, Rusia Tengah, kira-kira 240 km sebelah selatan Moscow, 28 Agustus 1828, berdasar kalender Rusia, atau 10 September, berdasar kalender Gregorian. Ia anak keempat dari Nikolay Ilych Tolstoy, pensiunan letnan kolonel, dan Putri Marya Nikolayevna Volkonsky Tolstoy. Jalan maju terbuka bagi Leo muda, sebagai pewaris darah bangsawan. Ia masuk Universitas Kazan, dan belum genap 2 tahun, ia keluar dari universitas terbaik itu, karena tak puas dengan metode pengajarannya. Ia lebih banyak membaca, kemudian, dan menghabiskan waktu di Moskow dan di St. Petersburg.
Kemampuan menulis adalah bakat yang kemudian ia sadari, dan menjadi pilihan untuk menuangkan gagasan. Masa kanak-kanak (1852) adalah novel pertamanya, disusul Masa Remaja dan Masa Muda, tilogi yang menjadi pijakan kariernya.
Darah muda melecutnya mengikuti dinas militer. Selama lima tahun terlibat, ia masuk kancah perang Krim, dan melahirkan cerita Kisah-kisah Sevastapol. Dan, pengalaman perang ini menjadi picu karya besarnya, Perang dan Damai (1863-1989), selain Anna Karenina (1875-1877), kisah sejarah tentang pelacakan lima keluarga aristokrat sejak Perang Napoleon antara Rusia dan Prancis. Kedua novel inilah yang membuat nama Tolstoy di Rusia terlem abadi.
Ia memang penyuka sejarah, sebagai titik berangkat ceritanya. Ini sesuai dengan pandangan dunianya, “Satu hal yang perlu dalam kehidupan, sebagaimana dalam seni, ialah mengungkap kebenaran.” Karena itu, dengan rileks, ungkap “kebenaran” masa mudanya, “Aku tak bisa lagi mengenang tahun-tahun itu tanpa perasaan horor, jijik, dan perih hati yang tercabik. Aku membantai orang dalam perang, menantang berduel untuk membunuh mereka, merampas buah-buahanb petani, memerangkap dan membunuhi mereka; aku dulu seorang penyontek, penipu, pencuri, pencampur aduk segala keburukan, mabuk, tak ada kejahatan yang tak pernah aku cicipi…”
Ia kemudian tercerahkan, dan jalan hidupnya, membatu dua; sebagai novelis dan pengotbah moralitas. Semua karya penting Tolstoy menampik kekuasaan, materialisme, dan kemewahan. Ia penyuara kedamaian dan kesederhanaan, yang sepanjang periode akhir hidupnya, ia melembagakan hal itu dalam kesehariannya.
Info menarik lain: Karl May, Imajinasi Keterbelahan Jiwa
Periode “pencerahan spiritual” Tolstoy bermula di awal 1880, di usia awal 50-an. Ia menjadi perasa, dan menekankan perlakuan yang adil bagi kaum miskin dan kaum pekerja. Ia sangat, sangat, moralis, ia menjadi pembenci, bahkan pengecam semua aliran seni, juga karyanya sendiri, yang tak menyuarakan pandangan hidupnya kemudian. Ia sangat asketis, menyerahkan seluruh kekayaan pribadi untuk kaum miskin dan memilih berselisih dengan istinya, Sophia Andreyevna Tolstoy, dan mereka berpisah. Ia pun mengadopsi kehidupan petani, membersihkan rumah sendiri, vegetarian, dan berpakaian tak ubahnya kaum pengembara. Ia menolak institusi geeja dan pemerintahan, dan mulai mengembangkan agama personal. Ia menempatkan Yesus, Buddha, Muhammad dan Konfusius, sederajat dan setara. Perubahan yang meletikkan musuh, dan di usia 73 tahun, 1901, gereja Ortodoks Rusia mengucilkannya karena ide itu.
28 Oktober 1910, ketika akan berziarah, di dalam kereta, ia terserang demam yang kian memarah. Kesehatannya kian memburuk, dan ia selalu bertanya tentang Sophia, istrinya, pada anak-anaknya, yang selalu mencoba mengalihkan percakapan tentang hal itu. Padahal, saat mendekati ajal itu, Sophia telah tinggal di depan rumahnya, ikut merasakan kesakitan yang sama. Ketika Tatyana memberitahu, air mata Tolstoy pun tumpah. “Sadarkah kau, betapa aku harus mengetahui tentang dia, demi diriku, demi jiwaku.” Ia sesenggukan.
5 November, ia beberapa kali gagal jantung, dan maut menjemputnya dengan lembut pukul 06.05.
“Napas berat Tolstoy mendadak menipis, beberapa saat kemudian, napas lemah ini sampai ujungnya, diam, panjang, tanpa perjuangan, lalu sebuah tarikan panjang, dan… tumpas,” tulis Vladimir Chertkov, sekretaris pribadinya dalam buku O Posledniakh Dniakh LN Toltogo, Hari-hari Terakhir Leo Tolstoy.