“DIA bukan hanya piawai mendongeng. Kehebatan utamanya adalah mengakui dongengannya itu sebagai pengalaman hidupnya sendiri. Hitler pun ikut mengaguminya,” kata sastrawan Seno Gumira Ajidarma, saat mengenang kematian Karl May.
Karl May? Siapa dia, yang mampu membuat Hitler membungkuk kagum?
Tentu, nama itu agak asing bagi Anda. Tapi di pertengahan tahun 70-an ke bawah, hampir dipastikan, setiap pelahap buku mengenal nama ini, lewat dongengnya yang ajaib tentang petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, bersama kepala suku itu, Winnetou.
Ya, siapa pun yang membaca petualangan Old bersama Winnetou dalam Berburu Binatang Berkulit Tebal di Rio Pecos, dan Di Pelosok-pelosok Balkan, sulit untuk tak takjub. Karl begitu mahir menjelaskan keadaan hutan, mengendus jejak, menentukan lama jarak buruan dari hangatnya jejak, cara menghilangkan jejak, membidik bison, memasang dupa perdamaian, sampai menguliti binatang. Karl bahkan secara detil dapat menggambarkan jarak antara satu desa dengan desa lainnya, adat tiap suku, sekaligus bahasa yang dipakai suku-suku itu.
“Semua hasrat dan angan-angan orang tentang petulangan di rimba Indian, dipenuhi oleh buku-bukunya,” tambah Seno.
Dalam tiap pengantar buku terlarisnya, seri Winnetou, Karl May selalu menjelaskan keterlibatannya dalam petualangan itu, sebagai Old Shatterhand. Padahal, semua hanya kebohongan Karl. Selama cerita Winnetou dia tulis, tak sekalipun dia pernah mengunjungi daerah itu. Sebabnya satu, semua kisah petualangan itu ditulis Karl selagi dia dalam penjara, hanya dengan bantuan sebuah peta. Luar biasa kan?
Menyimpan 8 Jiwa
Karl lahir 25 Februari 1842, di desa Upper Bavaria, 15 kilometer dari Hohenstein-Ernstthal, dekat Dresden, Jerman. Ayahnya, Heinrich August hanya seorang tukang tenun miskin, dan ibunya, Christiane Wilhelmine, cuma bidan kampung, yang justru tak tahu cara mengurus anak. Akibatnya, Karl kecil hidup sengsara, di rumah yang kotor, dan kekurangan vitamin. Empat tahun penyakit xeroptalmia, kebutaan ringan, menyerangnya. Itu ditambah cambukan di tubuh, jika ayahnya marah. Dalam kesengsaraan itu, Karl hanya punya satu tempat mengadu, neneknya. Dan biasanya, sang nenek akan menghadiahi Karl dongeng indah, untuk menghentikan tangisnya.
1860, Karl ditolak menjadi guru di sebuah seminari. Setahun berikutnya, dia meneruskan sekolah, tapi sebuah fitnah jatuh. Tuduhan mencuri jam tangan, menyeret lelaki ceking ini ke penjara.
Penderitaan selama muda, dan enam minggu di penjara, ditambah cemoohan keluarga, adalah pengalaman yang tak tertanggungkan. Karl pun kehilangan pegangan, jiwanya rusak. Dia menderita dissaciative identity disorder atau kini populer dengan multiple personality disorder, keterpecahan jiwa. Hebatnya, di dalam tubuh ringkih itu bersemayam 8 karakter manusia, yang acap saling bentrok.
Karl berusaha mengendalikan pertarungan 8 karakter itu. Ia menggeluti musik dan menulis. Tapi, tekanan karakter itu justru menuntunnya jadi pencuri. Dia sempat dipenjara untuk proses psikoterapi sampai dua kali, 1865-1868, dan 1870-1874.
Empat tahun terakhir dalam penjara itulah Karl berkarib dengan Johann Kochta, yang bisa membimbingnya, dan mempekerjakannya di perpustakaan penjara. Di sinilah Karl mengagumi buku James Fenimore Copper, seri petualangan dan budaya Indian, yang kelak menjadi sebagian besar isi karya-karyanya.
Merealisasikan Imajinasi
1877, karya pertama Karl, Die Rose von Kahira: Eine Morgenlandische Erzahlung terbit. Buku itu memuat petualangan Kara Ben Nemsi dan Haji Halef Omar di Timur Tengah. 1893, karya monumentalnya keluar, seri Winnetou yang selalu dibantu Old Shatterhand, yang langsung memikat jutaan pembacanya. Tak heran, di seri-seri berikutnya, Old Shatterhand pun bahkan menjelajah lebih jauh lagi, sampai ke pelosok-pelosok Balkan.
Pujian dan kekaguman pembacanya itu membuat Karl kecut untuk mengakui bukunya hanya mainan imajinasi. Karl pun mengakui itu sebagai pengalaman pribadi. Dan untuk mendukung kebohongannya itu, di tahun 1899, setelah kaya raya, ia berkelana ke Kairo, Sungai Nil, Aswan, Skelal, Port Said, Beirut, Jerusalem, Suez, sampai pulau Sumatera. Dan selama pengembaraan itu, Karl selalu mengambil cinderamata yang kelak dia katakan, tandamata dari petualangannya bersama Winnetou. Sayang, selama perjalanan ini, pers Jerman berhasil mengungkap kejahatannya, dan kehidupannya di penjara.
Bahkan, saat dia ke Istambul 1900, berita pers itu terus mengejarnya, sehingga istrinya meminta cerai. Karl amat terpukul. Tapi seorang janda dari klan Plohn, Klara, akhirnya mau menerima masa lalu Karl dan menikahinya.
Usai pengembaraan itu, semua cinderamata Karl simpan di vilanya di Radebeul. Vila yang dia namakan Villa Shatterhand itu, aku Karl, berisi semua cindramata Shatterhand semasa bertualang, juga senapan buru dan foto-foto hasil buruan dan keakrabannya dengan suku Indian.
Baca tentang Nasr Hamid Abu-Zayd Sebuah Historia Biografi
1910, paru-paru Karl bermasalah. Ternyata dia mengidap kanker paru, namun menolak untuk menjalani rawat kesehatan di daerah Selatan Jerman, yang udaranya amat baik. “Jiwa petualangku tak mengizinkanku itu melakukan itu,” tolak Karl. Kebohongan yang luar biasa!
Akhirnya, 30 Maret 1912, paru-paru yang soak itu tak mampu lagi menapasi tubuhnya. Sebelum napasnya timpas, dia sempat membisikkan “Victory, a great victory! I see everthing rose red….”
Ya, Karl mati dengan bangga, karena tahu, 73 novelnya telah dikopi ratusan juta, dan telah diterjemahkan lebih dari 30 bahasa. Prestasi luar biasa, dari seorang pembual, yang mengalami keterpecahan jiwa.